animasi  bergerak gif
DANCING DUCK

Minggu, 12 Oktober 2014

PEPERANGAN PADA MASA KHALIFAH ALI BIN ABI THOLIB RA.



Ali bin Abi Tholib lahir pada tanggal 13 Rajab di kota Makkah. Ayah ibunya berasal dari bani Hasyim, oleh karena itulah dalam dirinya terdapat sifat-sifat keluarga Hasyim yang di kenal sebagai keluarga mulia yang mempunyai sifat kebangsawanan, kekuatan, keberanian, kecerdasan dan kepahlawanan. Ayahnya bernama Abu Tholib bin Abdul Mutholib bin Hasyim bin Abdul Manaf dan ibunya bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdul Manaf. Ali bin Abi Tholib termasuk orang yang paling dekat hubungan keluarganya dengan nabi Muhammad SAW. karena beliau bukan hanya sepupu Nabi tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan menantunya serta sebagai penerus sepeninggalnya.  Ali adalah seorang khalifah keempat setelah Ustman dan hanya memerintah selama enam tahun, pada masa pemerintahannya Ali mengadapi berbagai pergolakan yang di guncang peperangan dengan Aisyah basertah thalhah dan Abdullah bin Zubair. Karena kesalapahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Utsman bai Affan, peperangan tersebut disebut dengan perang Jamal. Setelah mengatasi pemberontakan Aisyah, muncul pemberontakan lain yaitu yang disebut dengan perang Siffin dan perang Nahrawan.
 
A. PERANG JAMAL (36 H/656M)
1. Penyebab Terjadinya Perang Jamal
Perang jamal atau perang Unta adalah perang antara Khalifah Ali melawan Aisyah. Perang Jamal ini trjadi pada tanggal 11 Jumadil Akhir, 36 H atau Desember 657 M yang waktunya tidak sampai sehari. Perang ini berasal dari perbedaan pendapat antara Saidina Ali, Muawwiyah, Thalhah, Zubair, dan Aisyah dalam penyelesaian kasus pembunuhan terhadap Khalifah Utsman ibn Affan. Sebagian sahabat berpendapat pembunuhan Utsman harus di tuntaskan segera, sedangkan Saidina Ali berpendapaat bahwa pembunuh Khalifah Utsman berasal dari berbagai suku dan kabilah, bahkan menurut satu riwayat jumlahnya mencapai sepuluh ribu orang yang berasal dari Kuffah, Basrah, Mesir dan daerah lainnya. Dan mereka telah berbaur dengan kaum muslimin lainnya, maka yang terlebih dahulu harus di lakukan adalah membentuk pemerintah yang kuat setelah itu baru beliau akan menyelesaikan kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.  Muawwiyah bin Abu Sufyan, seorang Gubernur Syam yang tidak membaiat Ali sebagai Khalifah. Dia menuntut darah Utsman kepada Ali, sedangkan Ali tidak menjadikan masalah ini sebagai prioritas karena kondisinya yang masih sangat labil. Oleh karenanya, orang-orang Syam tidak taat lagi kepada Ali, dan Muawwiyah memisahkan diri dari kekhalifannya. Maka Ali segera menetapkan untuk memeranginya, berangkatlah Ali beserta pasukan ke Kuffah, beliau telah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kuffah.
Ali keluar dari Madinah menuju Kuffah dengan membawa sekitar tujuh ratus pasukan dan pasukan ini menjadi tujuh ribu orang. Sementara itu, penduduk Basrah sedang menunggu mereka dating dan pasukan mereka mencapai dua puluh ribu orang, sedangkan jumlah pasukan Aisyah sekitar tiga puluh ribu orang.  Pada saat itu juga Aisyah yang disertai oleh Zubair dan Thalhah serta kaum Muslimin dari Makkah juga menuju Basrah untuk menetap disana. Mereka sampai di sana dan menguasai Basrah. Bahkan mereka berhasil meringkus para pembunuh Utsman, mereka mengirimkan surat ke beberapa wilayah untuk melakukan hal yang sama.
Ali pun mengubah rute perjalanannyadari Syam ke Basrah, kemudian beliau mengirimkan beberapa utusan kepada Aisyah dan orang-orang yang bersamanya lalu menerangkan dampak negative dari apa yang mereka lakukan. Mereka puas dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan mereka kembali ke base untuk melakukan kesepakatan damai.
Keduanya hamper saja melakukan kesepakatan damai, namun Abdullah bin Saba’ beserta pengikutnya yang menyimpang marasa ketakutan da mereka berpikir pertempuran harus terjadi antara kedua pasukan. Kembali mereka menyebarkan api perang di antara kedua pasukan terlibat pertempuran yang sangat sengit. Ali tidak berhasil menghentikan peperangan ini.
Pertempuran terjadi demikian sengitnya di depan Unta yang membawa tandu Aisyah, pasukan Basrah kalah dalam peperangan iini. Ali memperlakukan Aisyah denagn baik dan mengembalikannya ke Makkah. Pada perang Jamal ini banyak kaum muslimin yang terbunuh, sebagian sejarahwan menyabutkan ada sekitar sepuluh ribu orang yang terbunuh.
Perang Jamal adalah perang yang pertama kali terjadi antara sesama kaum muslimin. Peperangan ini merupakan salah satu tragedi yang palinag menyedihkan dalam sejarah umat Islam yang sebelumnya tidak pernah terjadi hari seburuk ini karena Ali bertempur melawan Aisyah yang tidak lain adalah istri dari Rasulullah sekaligus ibu martuanya. Selain itu juga dua sahabat Nabi yaitu Thalhah dan Zubair yang gugur dalal peperangan itu.

2. Gugurnya Zubair dan Thalhah
Dalam suasana perang yang berkecamuk dengan dahsyat, Ali sibuk mencari Thalhah dan Zubair untuk mengajak keduanya berbicara, mereka pun bertemu. Saat itu Ali mengingatkan Thalhan dan Zubair tentang apa yang pernah diucapkan Rasulullah kepada mereka berdua, suatu hari Rasulullah pernah berjalan melati Ali dan Zubair, lalu Nabi berkata : ‘apa yang dikatakan oleh anak bibimu (Zubair) itu ? sungguh, suatu saat nanti, ia akan memerangimu secara dholim’, sebagaimana di kutip dari tarikh at-thobari karya Thobari. Mendengar peringatan Ali tersebut, Zubair segera pergi sambil berkata dengan penuh penyesalan “ya, seandainya aku ingat sabda Nabi itu, tentu aju tidak akan melakukan semua ini dan demi Allah aku tentu tidak akan pernah memerangimu”. Kemudian Zubair mundur dan keluar dari medan perang, ia pergi menuju Madinah, kepergiannya dilihat oleh Amr ibn Juzmuz yang segera menikutinya.
Ketika waktu shalat tiba Amr ibn Juzmuz mengajak Zubair melaksanakan sholat, saat itu Amr membelakangi Zubair, kemudian Amr menikam Zubair tepat di punggungnya, Zuairpun gug
ur. Setelah Amr mengambil kuda, cincin dan senjata Zubair kemudian ia mengabarkan kepada Ali ia telah membunuh Zubair, khalifah Ali sangat sedih mendengar hal tesebut. Sementara itu Thalhah mundur dari medan perang, tetapi Marwan bin Hakam melihatnya, maka Marwan memanah Thalhah tepat di lututnya. Thalhah pun jatuh dari punggung kudanya dengan kaki yang bersimbah darah. Thalhah pun akhirnya gugur dalal peperangan itu.
3. Kemenangan Ali ibn Thalib
Perang terus berlangsung hingga siang hari, khalifah Ali menyadari bahwa perang tidak akan bias di hentikan sebelum Unta Aisyah dirobohkan, jika Unta tersebut berhasil di robohkan maka pasukan Aisyah akan kehilangan pusat komando dan akan tercerai berai. Kemudian khalifah Ali menyuruh pasukannya untuk merobohkan unta Aisyah bani Dhabbah menjaga unta itu dengan gigih dank arena semangat yang membara, mereka senantiasa memegang tali unta Aisyah secara bergantian. Bani Dhabbah melindungi Aisyah dan untanya denagn semangat pantang mundur. Pada saat yang genting itu, seorang dari Bani Dhabbah sendiri. Jika unta Aisyah tidak di robohka maka semua anggota kabilanya akan terbuuh dan Bani Dhabbah akan hilang dari sejarah.
Dengan pikiran itu, laki-laki tersebut segera mengendap-endap ke belakang dan menebas kaki unta Aisyah. Melihat unta yang di tunggangi Aisyah roboh, Muhammad bin Abu Bakar dan Anwar ibn Yasir segera mendapingi unta tersebut lalu memotong tali pengikat sekedup Aisyah, mereka membawa Aisyah ke tempat yang aman. Ali menyuruh Muhammad ibb Abu Bakar untuk mendirikan tenda uat Aisyah.
Sebagai khalifah yang bijaksana, Ali memaafkan mereka yang sebelumnya menghunus pedang untuk memeranginya. Aisyah juga dikirim kembali ke Madinah dengan dikawal oleh pasukan wanita bersejata lengkap sebagai tanda kehormatan kalifah Ali kepada Aisyah.

B. PERANG SHIFFIN (37 H/657M)
Perang shiffin adalah peperangan yang terjadi pada tahun 37 H antara saidina Ali muawwiyah disatu tempat di irak dan berbatasan dengan Syiria yag bernama shiffin, perang ini di sebabkan komplain Muawwiyah atas ketidakberesan penyelesaian kasus pembunuhan Utsman, dan di dukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya.  Untuk mengatasi pertentangan antara dirinya dengan Muawiyah, Ali berusaha mengedepankan perdamaian dengan Muawwiyah. Ali menulis surat kepada Muawwiyah sebagai sarana untuk mencari solusi damai. Ali mengutus orang-orangnya untuk mengrimkan surat tersebut kepada Muawwiyah, tetapi apa yang diharapkan Ali dari Muawwiyah belum juga mendapatkan hasil sebagaimana yang di harapkannya. Delegasi yang ditulis oleh Ali dan Muawwiyah semuanya tidak menghasilkan apa-apa.
Awalnya pernyaaan perang dari khalifah Ali tidak ditanggapi oleh para sahabat dan juga umat pada umumnya, karena itu Ali berusaha duduk persoalan dan menjelaskan kelanjutan kedudukan kaum muslim. Kaum muslim tersadar, mereka kemudian berkumpul dan membentuk barisan pasukan yang telah lebih dulu siap dengan pasukannya tentu saja segera berangkat ke shiffin untuk menghadapi pasukan Ali yang mendirikan tenda-tendanya.
Ali masih tetap mengutamakan perdamaian sebelum npertumpahan darah terjadi. Khalifah Ali mengirim utusannya yang terdiri dari tiga orang. Muawiyah tetap masih pada pendiriannya, Muawiyah menuntut para pembunuh sebelum kesepakatan damai yang diinginkan Ali dapat dicapai. Bulan Muharram telah tiba, bulan ini mengharuskan mereka mengadakan gencatan senjata sampai habisnya bulan Muharram. Ali memanfaatkan waktu gencatan senjata ini untuk damai. Kesempatan Muawiyah untuk mempertimbangkan usulan damai dari Ali habis waktunya, sebab malam terakhir bulan Muharram telah tiba. Ali memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap mengangkat senjata, hingga paginya pertempuran itu terjadi. Sebelumnya, Ali telah memerintahkan pada pasukannya, “wahai kalian semua, sebelum peperangangan kalian jalankan aku peringatkan agar janganlah kalian mendahului peperangan sampai mereka melakukannya, sebab segala puji bagi Allah, kalian berada diatas kebenaran dan bila mereka kalian biarkan untuk mendahuluinya berearti bukti kebenaran itu ada ditangan kalian. Bila kalian memerangi mereka dan mereka kalah, maka janganlah kalian kejar mereka dan jangan kalian bunuh mereka yang terluka”.
Peperangan sudah tidak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan serunya, korban mulai berjatuhan dari pihak Ali maupun Muawiyah. Pihak Ali mulai menguasai peperangan, melihat pasukannya hampir mengalami kekalahan, Muawiyah meminta pendapat Amru untuk menyusun taktik selanjutnya. Amru mengusulkan agar Muawiyah memegang Al-Qur’an sebagai tanda menghentikan perang dan hukum Al-Qur’an yang akan menentukan selanjutnya. Diperkirakan korban yang ditimbulkan cukup besar, dari pihak Ali gugur dua puluh lima ribu orang, dan pihak Muawiyah empat puluh ribu orang. 

C. PERANG NAHRAWAN
1. Penyebab Perang Nahrawan
Orang Khawarij adalh orang yang berada dipihak Ali yang melakukan pemberontakan kepada Ali setelah terjadinya arbitrase dan mencopotnya dari kekuasaannya dengan alas an bahwa dia menerima tahkim. Anehnya kebanyakan dari mereka telah mendesak Ali untulk menerima tahkim tersebut. Namun, setelah itu meminta Ali untuk memerangi Muawiyah kembali. Tentu saja Ali menolak permintaan mereka dan merekapun menyingkir ke kawasan Harura’ dan terus melancarkan perang.
Semakin lama semakin banyak dan berkumpul di Nahrawan. Mereka mulai memebunuh kaum Muslimin dan menebarkan kerusakan di muka bumi. Maka, berangkatlah Ali menemui mereka dan berdiskusi dengan mereka dengan jangka yang lama. Beliau menjelaskan kesalahan jalan yang mereka tempuh dengan segala cara. Akhirnya, sebagian dari mereka kembali sadar dan bergabung dengan Ali. Namun, sebagian besar dari mereka terus saja melancarkan perang.
Khalifah Ali dihadapkan pada dua lawan yaitu Muawiyah dan kaum Khawarij. Kaum Ali disibukkan dengan melawan Khawarij yang jumlahnya sekitar dua belas ribu orang. Pasukan Khawarij dikalahkan oleh pasukan Ali bin Abi Thalib ketika bertempur di Nahrawan.

2. Wafatnya Ali bin Thalib
Akhirnya, menjelang Shubuh pada tanggal 17 Ramadhan 40 Hijriyah ketika sedang shalat di masjid Kufah, beliau dipukul dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam hingga beliau mengeram kesakitan. Orang-orang yang mendengar teriakan khalifah Ali keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka kaget melihat khalifah tergeletak berlumur darah. Segera orang-orang menolongnya san membawa ke rumahnya. Sesampainya dirumah, khliafah dalam keadaa terluka ternyata masih sempat menyuruh mereka bersegera ke masjid agar ridak ketinggalan shalat shubuh. Usai shalat mereka kembali kerumah khalifah untuk menolongnya. Sementara yang lainnya telah berhasil menangkan pelakunya, mereka membawanya ke tempat khalifah. Walaupun keadaannya kritis, ia masih tetap bertahan, dipandang satu persatu anak-anaknya dan para shahabatnya nampak wajah-wajah penuh kemarahan dan dendam.
Lalu beliau berkata, bahwa beliau menginginkan agar masalah pembunuhan terhadap dirinya, hanya diselesaikan antara orang yang terbunuh dan pelakunya., khalifah tidak menginginkan masalah pembunuhan terhadap dirinya diperpanjang yang berakibat akan timbul perselisihan dan jatuh korban yang lebih banyak. Khalifah yang telah dijabatnya selam enam tahun enam bulan, beliau mempunyai tiga puluh tiga orang anak, lima belas laki-laki dan delapan belas perempuan. Beliau di makamkan di Kufah pada malam harinya.
 D. Tah kim Shiffin dan Perpecahan Ummat (Syi’ah, Khawarij, dan Pendukung Muawiyah).
1. Tahkim Shiffin
Setelah sekian ribu orang meninggal, akhirnya perang Shiffin ini berakhir dengan proses negosiasi dan arbitrse, yang lebih dikenal dengan “tahkim”. Masing-masing pihak mengutus juru damai, dari pihak khalifah Ali adalah Abu Musa Al-Asyari sedang juru damai pihak Muawiyah Amru bin Ash. Ali bin Abi Thalib kembali ke Kufah dan Muawiyah ke Syiria, keduanya menunggu hasil perdamaian. Bertemulah kedua utusan itu disatu tempat bernama Daumatul Jandal untuk mencari upaya-upaya menghabiskan permusuhan dan mengembalikan keamanan. Dlam perundingan ini, Amru bin Ash berhasil menjalankan siasat sehingga menghasilkan keputusan:”Ali bin Abi Thalib turun dari kedudukannya dan Muawiyah bin Abi Shafyan diperhentikan, Siapa yang akan menjadi khalifah akan ditetapkan dalam satu pertemuan ummat Islam”.  Keputusan yang diambil oleh kedua utusan dalam perundingan itu disampaikan di Adzran dihadapan rapat besar ummat Islam. Dalam pidatonya, Abu Musa mengatakan bahwa: “Ali bin Abi Thalib tidak lagi menjadi khalifah dan Muawiyah bin Abu Shafyan diperhentikan”. Setelah Abu Musa berpidato, naik pulalah Amru Bin Ash keatas mimbar dan berkata: “Ali bin Abi Thalib benar telah diturunkan dan Muawiyah betul telah diperhentikan dari jabatannya sebagai pembesar Syiria. Akan tetapi, pada hari ini Muawiyah saya angkat menjadi khalifah sebagai pengganti Ali”.
2. Perpecahan Ummat (Khawarij, Syi’ah, dan Pendukung Muawiyah)
Hasil tahkim yang dilakukan oleh Abu Musa dan Amr bin Ash sangat mengecewakn bagi pasukan Ali. Oleh karena itu, pendukung Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua. Kelompok pertama, kelompok yang tetap mendukung Ali bin Abi Thalib yang disebut kelompok Syi’ah. Kelompokm yang kedua, kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib disebut dengan kelompom Khawarij. Kelompok yang ketiga, kelompok yang tetap mendukung Abu Shafyan.
Kelompok Ali yang kecewa pada hasil tahkim berkumpul di Makkah dan melakukan kesepakatan dipimpin oleh Abdurrahman bin Muljam al-Maridi, al-Bark ibn Abdullah al-Tamimi. Dan Amr bin Bakir al-Tamimi untuk menentang kepemimipinan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah.
Dengan terbunuhnya Ali, berakhir pula khilafah risyidah yang sesuai dengan manhaj Allah secara sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar